hanya sebagaii introspeksii dirii....
Cerita dari anak generasi tahun ’70-an. Ketika pertama kali masuk SD
dulu, tahun ajaran baru masih dimulai pada bulan Januari. Jaman saya
bersekolah, ragam sekolah tak begitu banyak. Hanya ada SD Negeri, SD
Inpres, lalu ada Madrasah yang kurikulumnya pendidikan agama dan sekolah
swasta yang tak banyak jumlahnya. Jaman dulu, sekolah negeri jadi
incaran. Selain dari segi biaya tidaklah terlalu mahal, kualitas guru
dan sarana pendidikannya biasanya lebih baik.
Meski beruntung
diterima di SD Negeri terfavorit di kota kecil saya, ternyata tak semua
teman saya sempat sekolah di TK. Karena itu tak semua siswa kelas 1 bisa
baca-tulis dan berhitung. Guru SD-lah yang mengenalkan abjad dan angka
pada kami. Anak siapa saja bisa masuk SD negeri. Latar belakang sosial
ekonomi teman-teman saya sangat beragam, juga tingkat pendidikan orang
tuanya. Karena itu, pola asuh yang dikembangkan di keluarga
masing-masing siswa tentu berbeda. Di sekolah, guru-lah yang
menyeragamkan aturan dan disiplin. Kalau datang terlambat atau tak
mengerjakan PR, bakal dihukum. Siswa yang nakal, biang ribut di kelas,
suka mengganggu teman, akan di “setrap” di depan kelas, bahkan bisa jadi
baru boleh pulang belakangan.
Tiap hari Senin, guru agama akan
berkeliling memeriksa kerapihan dan kebersihan penampilan kami. Kalau
ada siswa pria berambut gondrong, acak-acakan, atau siswi yang kuku jari
tangannya panjang apalagi kotor, guru akan mengambil gunting, memotong
rambut dan kuku kami. Kenapa guru agama? Ya, karena kebersihan sebagian
dari iman dan itu aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Tak ada orang
tua murid yang tersinggung, marah apalagi sampai melabrak guru, hanya
gara-gara rambut atau kuku anaknya dipotong. Orang tua “nrimo”, karena
bagi mereka sekolah adalah ruang dimana otoritas adalah milik guru. Maka
segala aturan disiplin dan standar perilaku, diserahkan pada guru untuk
menggariskan dan menegakkannya.
Dulu, kalau ingin anaknya bisa
sholat dan mengaji, biasanya kalau sore orang tua menyuruh anaknya pergi
mengaji. Bukan pada TPA yang formal dan terstruktur seperti sekarang,
tapi pada guru ngaji informal yang dibayar seikhlasnya, tempat
belajarnya di musholla/langgar/surau atau di rumah guru ngaji. Biasanya,
guru ngaji jaman dulu dikenal lebih galak ketimbang guru sekolah.
Sambil memegang sebatang rotan yang dipakai untuk menunjuk rangakain
huruf Hijaiyah di papan, mata tajam guru ngaji melihat siapa saja yang
mengantuk dan tak menyimak bacaan Al Qur’an dengan benar. Yang mengantuk
tandanya siang kebanyakan bermain, tak mau tidur siang. Ujung batang
rotan itu bisa mendarat di tangan kami dan membuyarkan kantuk kami. Tak
ada orang tua yang protes apalagi sampai memperkarakan guru mengaji yang
memukul anak mereka. Meski bukan guru formal, guru mengaji seolah
mendapat mandat penuh dari orang tua santri untuk mengajarkan agama dan
budi pekerti pada anak mereka.
Dulu,
guru bertanggungjawab penuh atas semua perilaku mereka, termasuk sopan
santun dan akhlak. Tapi guru juga diberi kewenangan untuk menindak jika
ada yang melanggar (foto : Album Ilustrasi K - FB Grup Kampret, by Bowo
Bagus)
Dari jaman ke jaman, selalu saja ada anak nakal, siswa
bandel, biang keladi semua keributan. Itu wajar, namanya juga anak dan
remaja. Ada yang sifatnya cenderung melawan, suka membantah, tak mau
menurut. Makin menginjak remaja, sikap perlawanan itu makin menjadi.
Sekali lagi, tugas guru-lah mengatasinya. Tiap guru punya cara sendiri
menghadapi siswa yang sulit diatur. Ada yang sabar dan memilih cara
halus untuk menghadapinya, ada yang memilih tak mempedulikan siswa yang
bandel – paling-paling diberi nilai jelek untuk mata pelajaran yang
diajarkannya, ada pula yang memilih menanganinya dengan cara kasar. Tapi
sekali lagi, jarang sekali orang tua siswa tahun ’70 –‘80an yang
menggugat guru. Tampaknya orang tua jaman dulu sadar konsekwensi logis
dari mereka menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada guru.
Anak
remaja di jaman saya bersekolah, juga biasa berkelahi. Tapi umumnya
satu lawan satu, tidak main keroyokan. Dan yang lebih penting lagi :
berkelahi dengan tangan kosong! Efek paling parah : wajah babak belur,
pakaian kotor atau sobek. Pulang ke rumah tak berani mengadu pada ortu.
Kalau ketahuan guru, sudah pasti dihukum berat. Dan kalau dihukum guru,
mana berani mengadu ke ortu, bisa-bisa ortu akan menghukum juga.
Ada
satu hal yang bisa saya tarik disini : remaja jaman dulu tidak
mendapatkan toleransi dan perlindungan – bahkan dari orang tuanya
sendiri – ketika mereka melakukan kekerasan. Terkadang, bahkan ortu
sendiri lah yang mengantara anaknya ke wali kelas, jika kedapatan
berkelahi sepulang sekolah. Ortu meminta guru menghukum anak mereka.
Dulu pernah ada teman mengaji saya yang sok jagoan di kampungnya. Dia
sering berkelahi dengan anak sebayanya. Ortunya melaporkan pada guru
mengaji – sebab lawan berkelahinya bukan siswa satu sekolah dengan si
anak – untuk dihukum dan dinasehati. Maka, tak ada tempat berlindung dan
minta pembelaan bagi anak yang sok jagoan.
Lalu bagaimana dengan
jaman sekarang? Guru tampaknya berada pada posisi sulit. Mereka tak
bisa lagi mudah menjatuhkan hukuman pada siswanya. Salah-salah, siswa
yang kena “setrap” mengadu pada ortunya, malah guru yang ganti diadukan
ke polisi. Orang tua tahunya anak mereka baik-baik, tak ada hak guru
untuk menghukumnya. Sementara, ketika terjadi tawuran antar pelajar
sepulang sekolah, pertanyaan di berbagai media dialamatkan pada guru :
dimana peran guru?
Kalau
anaknya sudah terlibat masalah seperti ini, barulah ortu turun tangan,
bahkan terkadang mengintervensi kewenangan sekolah (foto :
news.detik.com)
Coba kita tengok beberapa kasus belakangan ini.
Sekelompok siswa sebuah SMA di kawasan elite, yang jelas-jelas melakukan
bullying terencana pada adik kelasnya, dibela mati-matian oleh orang
tua mereka. Guru dan pihak sekolah tak lagi bebas menegakkan hukum pada
siswanya. Meski sejak awal mereka tak menunjukkan penyesalan, tak
menganggap apa yang mereka lakukan itu bukan sekedar salah tapi juga
terlarang, orang tua turun tangan membela. Bila perlu, sewakan
pengacara, bawakan LSM yang atas nama hak anak, mencarikan dalih bahwa
mereka tak boleh dihukum. Lalu bagaimana dengan hak untuk mendapatkan
rasa aman bagi anak yang di-bully?!Bukankah menganiaya orang lain,
apapun alasannya sama sekali tak bisa dibenarkan?
Lalu kenapa
ortu /wali murid jaman sekarang lebih permissive pada perilaku tak
terpuji anak mereka? Mungkin ini juga bentuk tindakan apologize karena
selama ini orang tua kerap lalai memberikan perhatian dan waktunya pada
anak mereka. Berapa banyak orang tua yang masih menyempatkan diri
melepas anaknya berangkat ke sekolah sampai di pintu depan rumah,
membiasakan anaknya mencium tangan mereka, lalu menepuk pundak anaknya
atau mengelus kepalanya sambil berpesan : “Hati-hati di jalan ya, Nak”
atau “Baik-baik ya di sekolah”. Kalimat-kalimat yang terdengar klise.
Tapi kalau diucapkan setiap hari, akan tertanam pesan di benak si anak,
tentang harapan ortunya agar mereka jadi anak baik-baik, berhati-hati
dijalan dan bukannya jadi raja jalan atau cari gara-gara di jalan.
Banyak
orang tua yang tidak terlalu mengenal watak dan karakter asli anak
mereka. Sebuah contoh nyata adalah Ibunda Afriani. Ketika pers menguliti
kebiasaan Afriani dan teman-temannya yang terbiasa dugem kalau weekend,
terbiasa mengkonsumsi miras dan narkoba, si Ibu tetap saja bersikeras
putrinya anak baik yang tak mungkin melakukan hal itu. Kendati foto-foto
yang diunggah sendiri oleh Afriani di akun jejaring sosial miliknya
menggambarkan hal itu, status FBnya menunjukkan kebiasaan “party”, tetap
saja si Ibu tak percaya putrinya begitu. Bahkan dalam wawancara di TV,
ibunya mengatakan tak yakin putrinya mengkonsumsi miras dan narkoba,
karena sesaat setelah menabrak Afri langsung menelpon ibunya dan
suaranya masih normal, tidak seperti orang mabok. Padahal, jelas-jelas
hasil test urine tak diragukan lagi membuktikan mereka telah
mengkonsumsi miras dan ecstasy.
Pengalaman pahit pernah dialami
keponakan saya yang bersekolah di sebuah SMA IT di kawasan Jabodetabek.
Waktu itu keponakan saya masih kelas 1 SMA. Karena jam belajarnya sampai
jam 3 sore, tiap hari ibunya (adik ipar saya) membawakan bekal makan
siang komplit. Kebiasaan membawa bekal makan siang ini sudah dijalani
keponakan saya yang sejak SD memang bersekolah di SDIT, SMPIT dan SMAIT
yang sama. Sekali waktu ia mengadu pada ibunya kalau bekal makan
siangnya kerap diminta temannya. Mendengar hal ini, adik ipar saya
menambah porsi bekal anaknya, sekiranya cukup untuk dimakan 2 orang.
Lauk pauk semuanya dobel.
Suatu pagi, saat jam pelajaran baru
berjalan, si teman “tukang palak” ini menanyakan pada ponakan saya :
“Mana bekal makan siang lo?”. Keponakan saya yang takut, segera
menunjukkan wadah bekalnya. Anak ini pun langsung memakannya dengan
lahap seperti kelaparan, meski sambil sembunyi-sembunyi. Keponakan saya
dengan takut-takut melirik bekal makan siangnya yang sudah hampir habis.
Ia pun berujar “Eh, jangan dihabisin dong! Sisain buat gue, ntar siang
mo makan apa?”. Memang keponakan saya tak dibekali uang dalam jumlah
banyak, agar tak terbiasa jajan di luar. Tapi apa yang diterima
keponakan saya? Sebuah bogem mentah mendarat di pelipisnya.
Malam
hari, menjelang tidur, barulah keponakan saya melapor pada ortunya,
kalau siang tadi ia tidak makan sembari menunjukkan lebam di pelipisnya
yang dicoba ditutupi rambut. Tak terima anaknya diperlakukan
semena-mena, esok paginya adik saya datang ke sekolah dan melapor pada
guru kelas, Ternyata, anak yang suka memalak makan siang ini bukan anakk
orang tak mampu yang tak bisa memberinya bekal! Kedua ortunya dokter
spesialis, yang sejak pagi sudah berangkat ke RS tempat mereka praktek.
Anaknya dibekali uang lebih dari cukup untuk beli sarapan dan makan
siang. Bahkan menurut keterangan temannya yang setiap hari berangkat
sekolah berboncengan motor dengan anak itu, pagi hari sebelum kejadian,
temannya sempat mengajak mampir untuk membeli nasi kuning buat sarapan.
Tapi si anak dokter ini tak ikutan membeli, ia lebih memilih memalak
bekal makan siang keponakan saya. Lalu untuk apa uang pemberian ortunya?
Tidakkah ortunya khawatir anaknya membeli narkoba?
Tak
cukup hanya perhatian dan kasih sayang guru, perhatian dan kasih sayang
orang tua justrru mutlak perlu (foto : Album Ilustrasi K - FB Grup
Kampret, by Arief Subagor)
Sekitar 4-5 tahun lalu, saya pernah
diundang ke sebuah SMK Teknik yang bekerjasama dengan perusahaan tempat
saya bekerja, dalam rangka pendidikan sistem ganda. SMK itu memang SMK
unggulan. Karena saya datang lebih pagi dari jam undangan, saya
dipersilakan menunggu di ruang guru. Ternyata saat itu ada seorang guru
yang sedang memarahi sekaligus menasehati seorang siswa. Siswa itu
kemudian disuruh kembali ke kelas. Gurunya pun bercerita : anak tadi
sebenarnya anak pintar. Ayahnya sudah lama meninggal, ibunya tak menikah
lagi dan hanya jadi buruh cuci dari rumah ke rumah. Belakangan, anak
itu berteman akrab dengan anak dari seorang ibu pejabat, kepala sebuah
instansi Pemerintah, bapaknya juga punya jabatan.
Sejak
bersahabat dengan anak orang kaya, si anak buruh cuci ini jadi malas
sekolah dan lebih banyak nongkrong di warnet untuk bermain game online.
Tentu saja yang membayari si anak orang kaya itu. Berkali-kali guru
sudah merazia mereka. Orang tua si anak yang pejabat sudah dikabari,
tapi mereka tak percaya anaknya suka bolos. Karena jengkel, akhirnya
pihak sekolah menjemput si ibu di kantornya, meminta beliau tidak naik
mobil pribadi atau mobil dinasnya tapi ikut mobil sekolah. Lalu diajak
ke sebuah warnet dekat sekolah, untuk memergoki anaknya sedang asyik
main game online saat jam sekolah. Barulah si ibu percaya anaknya
bandel. Kendati demikian, si ibu memilih mengajak pulang anaknya dan
tidak menyerahkannya pada guru untuk diberikan hukuman sesuai aturan.
akankah
10 - 15 tahun lagi mereka tetap jadi anak-anak manis seperti ini? Guru
saja tak akan mampu menjaga mereka 24 jam (foto : dokumentasi pribadi)
Nah,
inilah ambigu dunia pendidikan jaman sekarang. Di satu sisi orang tua
seolah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka pada guru-guru di
sekolah, namun di sisi lain, ketika ada masalah, anaknya berulah, orang
tua tak mau guru mengambil tindakan. Orang tua turun tangan ketika sudah
ada masalah, itupun bukan untuk meng-endorse pengegakan disiplin dan
hukum sesuai aturan, tetapi justru untuk mengintervensi disiplin dan
hukum, mengupayakan privilege bagi anak mereka. Akibatnya, sama sekali
tak ada pembelajaran pada diri siswa. Anak tak belajar dari kesalahan
yang dibuatnya. Boro-boro ada efek jera, bisa jadi malah si anak
berpikir : “Ah.., nanti juga kalau aku bermasalah, ortuku pasti membela.
Mana berani guru menghukumku”.
Anak gemar tawuran, anak suka
keroyokan dan berperilaku anarkhis, tentu banyak faktor penyebabnya.
Anak tak terbebani rasa salah alias cuek, tidak menyesal saat melakukan
perbuatan salah bahkan menjurus ke kriminal, juga banyak aspek
pemicunya. Sungguh tidak adil, jika tanggung jawab hanya dibebankan pada
guru dan sekolah sebagai institusi. Kalau benar orang tua menyerahkan
pendidikan anaknya pada guru dan sekolah, maka mereka juga harus rela
jika guru menegakkan aturan pada semua siswa tanpa pandang bulu. Orang
tua harus ikhlas anaknya menerima akibat hukum dari perbuatannya,
termasuk jika tidak disiplin dan tidak berlaku sopan pada guru.Jangan
ajari anak menginjak-injak hukum. Sebab kekacauan itu timbul karena
lemahnya penegakan hukum
Sebelumnya saya mohon maaf pada pemilik artikel yang saya kutip.posting ini saya hanya mengutip dari sebuah situs...dan ini hanya sekedar untuk sharing saja....